-->

Ajaibnya Kata-Kata

Ajaibnya Kata-Kata

Oleh Yon's Revolta
Saat saya masih duduk di bangku SMU, guru kimia saya pernah berkata “Kamu nggak bakalan keterima UMPTN”. Kata-kata itu diucapkannya setelah saya gagal mengerjakan soal kimia di depan kelas. Tentu saja, saya malu pada teman-teman waktu itu. Saya menyadari, saya memang tidak terlalu pintar dalam pelajaran kimia, tapi ketika mendengar guru berkata begitu, tetap saja membuat sakit hati, saya merasa dilecehkan.
Setelah pulang sekolah, kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran. Saya lempar tas ransel dan langsung merebahkan tubuh ke tempat tidur. Ingin istirahat tapi mata tak mau terpejam. Hanya menerawang di langit-langit kamar. Saya tarik nafas panjang-panjang, kemudian dalam hati saya bertekad “Saya harus bisa buktikan nanti lulus UMPTN dan masuk perguruan tinggi negeri”. Dan, perjuangan itu dimulai...
Kata-kata guru saya seolah menjadi cambuk penyemangat dalam belajar. Setiap hari berkutat dengan soal-soal UMPTN yang rumit itu. Kadang sering putus asa juga ketika tidak bisa menyelesaikan soal-soal di hadapan saya. Tapi, bagaimanapun juga, kendala-kendala itu harus bisa teratasi, berjuang terus untuk bisa menjawab soal, biasanya saya berlatih dengan bahan soal tahun-tahun sebelumnya. Kalau memang sudah mentok, melirik kunci jawaban menjadi alternatif terakhir.  Begitulah saya melewati hari-hari melelahkan itu....
Berawal dari kata-kata yang menyakitkan itu, saya bangkit dan berjuang. Saya percaya bahwa ketika berbuat maksimal, hasil yang akan diperolah pasti akan sebanding dengan usaha tadi. Dan, benar juga, pada akhirnya saya bisa mewujudkan salah satu impian saya, bisa masuk perguruan tinggi negeri dengan mengambil jurusan yang lumayan favorit, Ilmu Komunikasi.
Kata-kata..ya, berawal dari kata-kata...
Kata-kata memang ajaib. Dia bisa melemahkan dan juga bisa menguatkan, tergantung dari cara kita mensikapinya. Andai saja saya mensikapi kata-kata guru kimia saya itu dengan negatif, tentu saja hanya menyakitkan dan membuat kesal. Tapi ketika bisa merenungi dan mengubahnya menjadi energi positif. alhamdulillah, ternyata bisa menjadi spirit, penggugah dan penyemangat belajar sehingga pada akhirnya bisa menikmati kuliah di kampus negeri.
Kadang kita kerap masih ingat dengan kata-kata teman atau siapapun yang begitu menyakitkan kita. Bahkan sampai bertahun-tahun lamanya kata-kata itu tidak bisa lepas dari ingatan. Untuk itulah, kita harus mesti berhati-hati dengan kata-kata yang kita keluarkan, baik secara lisan maupun tulisan. Hanya ada dua pilihan, kata-kata yang baik atau yang buruk.
Saya sendiri pernah mendapat kata-kata yang cukup bagus dari seorang teman kuliah, dia pernah menulis di buku harian saya, bunyinya begini;
Sobat..., Dunia ini hanya digerakkan oleh gagasan beberapa orang saja dan aku berharap, kamu adalah salah satunya
Dari kata-kata itu, kemudian bisa menginspirasi saya terjun serius ke dunia kepenulisan dan perbukuan. Kata-kata itu memang singkat dan sederhana, tapi maknanya begitu dalam bagi saya. Bisa menjadi penyemangat untuk berkarya dan berkarya lagi.
Untuk itulah, berhati-hati dengan kata-kata itu perlu karena dia begitu ajaib, bisa menyenangkan dan menyakitkan. Kalau dihadapkan pada pilihan sadar, tentu kita akan menggunakan kata-kata itu untuk memberikan semangat orang, memberikan pencerahan bahkan bisa menjadikannya semakin dekat dengan Tuhan. Semoga saja begitu, pertanyaannya sekarang, sudahkah kita melakukannya...?

Bersihkan Mushola Berhadiah Gratis Sekolah

               Jangan kaget atau heran, kalau suatu hari Anda melihat seorang gadis belia tengah membersihkan mushola di kawasan Depok, Jawa Barat. Anda hanya perlu mendekat dan tanyakan kepadanya perihal yang dikerjakannya. "Saya membersihkan mushola agar bisa gratis sekolah," ujar Rani tanpa malu-malu.
Ya, Rani memang tak pernah malu untuk mengerjakan hal itu. Baginya, membersihkan mushola adalah pekerjaan mulia. Selain, Insya Allah, mendapatkan pahala, Rani juga mendapatkan apa yang selama ini menjadi rintangan terbesar dirinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan pekerjaan itulah Rani mendapatkan imbalan yang membuatnya sering bersyukur, ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang sekolah. Karena mushola tersebut adalah mushola milik sekolah tempat ia belajar.
Rani, 16 tahun, gadis kecil yang mampu menyingkirkan rasa malunya dari teman-teman sekolahnya lantaran menjadi pembersih mushola sekolah. Berbeda dengan teman-temannya yang masih mendapat sokongan dari orangtuanya baik uang sekolah maupun uang saku untuk jajan, Rani tak pernah mencicipinya. Rani sadar betul, orangtuanya tergolong tak mampu, maka untuk tetap bersekolah, ia harus melakukan sesuatu. Awalnya Rani tak tahu, sampai akhirnya pihak sekolah menawarkan satu pekerjaan dengan imbalan gratis biaya sekolah. Jadilah Rani sang pembersih mushola. Dan ia senang melakukannya.
Jangan pernah tanya berapa uang saku Rani untuk jajan di sekolah. Karena untuk ongkos pulang pergi ke sekolah yang berjarak 5 km dari rumahnya pun Rani tak punya. Ia harus berangkat lebih awal agar tak terlambat berjalan kaki ke sekolahnya. Alhasil, tidak jarang pakaian seragamnya basah oleh peluh setibanya di sekolah. Pulang ke rumah pun demikian. Setelah membersihkan mushola, ia kembali ke rumah tetap dengan berjalan kaki.
Rani tak pernah bersedih, apalagi menyesali nasibnya. Ia merasa harus tetap berjuang. Mungkin Rani tak pernah tahu, bahwa jalan yang tengah ditempuhnya kini adalah jalan yang pernah dilalui orang-orang sukses terdahulu. Tak pernah ada orang sukses tanpa mengarungi derasnya ombak kehidupan, dan tak satupun orang meraih sukses tanpa peluh.
Kelak, jika Rani menuai kesuksesannya. Pastilah sulit baginya melupakan terminal-terminal perjalanan hidupnya. Mushola dan sepanjang jalan menuju sekolahnya, juga baju seragam yang sering bersimbah peluh itu, akan senantiasa menjadi kenangan terindah yang tak mungkin terhapus.***

Belajar dari Mujahidah Senja
Oleh Miftahul Jannah
Jika gelap datang tiba-tiba Ketika kita telah begitu terbiasa dengan cahaya terang-benderang Sebijak apakah kita menyikapinya?
Saya sebenarnya tidak terlalu mengenalnya dengan baik, ya... tidak sebelum dia benar-benar menginspirasi saya. Dia adalah kakak angkatan saya. Tidak banyak aktivitas bersama yang pernah kami kerjakan. Sekedar bahwa kami sama-sama kuliah di satu universitas, satu fakultas, satu jurusan, dan melibatkan diri di sebuah komunitas muslim fakultas, namun juga di bidang yang berbeda.
Sampai suatu hari saya dikejutkan dengan berita bahwa beliau mengalami sakit yang berefek terhadap penglihatannya. Di hari yang sama ketika saya mendengar berita seorang adik angkatan meninggal dunia, juga teman seangkatan saya yang mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang kaki dan tangannya. Ya Allah, saya patut bersyukur dengan kecelakaan kecil yang saya alami sore harinya karena emosi saya benar-benar teraduk-aduk dengan berita-berita duka yang saya dengar sepanjang pagi hingga siang hari itu.
Sayangnya, itupun tidak membuat saya menyegerakan diri silaturrahim ke kediamannya untuk menjenguk atau sekedar menghiburnya. Yah, terlalu banyak alasan-alasan tak bermutu untuk diungkapkan jika ditanya mengapa. Hingga suatu hari saya melihat keramaian di taman fakultas, ada seseorang yang sedang dikelilingi di sana. Saya mendekat, ingin tahu siapa orang yang dikelilingi. ternyata beliau, kakak angkatan saya itu. Subhanallah, ia tandai saya dengan suara tawa saya. Ketika itu saya berjanji untuk membacakannya sesuatu, karena dibacakan sesuatu (buku, majalah, atau buletin) telah menjadi aktivitas barunya pasca tidak lagi bisa melihat.
Namun lagi-lagi saya belum bisa menepati janji, hingga dua hari lalu saya berkesempatan melewati sore yang berbalur hujan dengannya. Saya bersyukur sore itu mengurungkan niat untuk kembali ke kos dan memilih mendekam sementara di sekretariat SKI. Ketika saya masuk ke sekretariat ternyata ada beliau di sana, duduk di sudut sekretariat. Posisi yang aman baginya. Canda-canda ringan tak lepas dari bibir beliau. Kepada seorang rekan beliau minta dibacakan edisi terbaru buletin mingguan SKI kami yang terbit hari itu. “Saya tak pernah melewatkan Embun”, katanya pada saya. Setelah rekan saya selesai membacakan Embun, saya minta izin membacakan dua buah tulisan untuknya, teringat janji yang belum saya tepati. Tulisan yang saya baca bukan hanya sekedar didengar, beliau senantiasa melontarkan sekedar komentar bahkan menganalisis jika pernyataan tulisan yang saya bacakan menarik begi beliau untuk dianalisis.
Tepat ketika saya selesai membacakan tulisan kedua, azan Ashar berkumandang. Saya mengajaknya berangkat shalat. Perjuangan beliau berjalan dari posisi duduknya menuju musholla, memakai sendal, mengambil wudhu, memperbaiki jilbabnya, memakai peralatan shalat, memosisikan diri untuk shalat, melipat kembali alat shalatnya setelah selesai shalat, berjalan kembali ke sekretarian SKI, sungguh menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. Tak ada keluhan, bahkan beberapa kali beliau menolak untuk saya tuntun, sebisa mungkin beliau usahakan untuk mengerjakannya sendiri. Misalnya ketika saya hendak membantunya memperbaiki jilbab sehabis wudhu, awalnya ia menolak, meski kemudian ia izinkan saya membantunya karena baginya jilbabnya terasa tetap belum rapi.
“Di rumah kalau pakai jilbab dipakaikan siapa, Mbak?” tanya saya.
“Pakai sendiri dong” jawabnya tetap dengan senyum.
Begitupun ketika saya berusaha menuntunnya berjalan, ia menolak. “Nggak usah dipegangin, sendiri bisa kok” Ia lepaskan tangannya dari tangan saya dan berjalan sendirian, meski harus menyeret tapak kakinya untuk meraba undakan, bahkan tersandung sapu berkali-kali.
Selepas Ashar saya tak kuasa menepis keinginan untuk bertanya padanya, keinginan yang sejak lama saya urungkan karena khawatir pertanyaan saya akan menyakiti hatinya. Pertanyaan klise, pasti sudah banyak yang menanyakan, dan saya tak berani memastikan ia mau bercerita. Bisa jadi ia sudah bosan dengan pertanyaan itu-itu saja. Namun betapa stabilnya keadaannya dalam pandangan saya, membuat saya benar-benar ingin mengambil hikmah darinya. Siapakah yang siap mengalami kebutaan setelah hidup lebih dari dua puluh tahun dengan penglihatan normal?
“Saya juga manusia, sejak pagi sampai siang saya menangis. Wajar kan?”
Itulah jawabannya ketika saya tanya reaksi pertamanya begitu mengetahui bahwa ia telah benar-benar tidak bisa melihat. “Waktu itu saya baru bangun. Saya tanya ibu kenapa gelap semua. Beberapa waktu sebelumnya pernah terjadi hal yang sama, ternyata lampu kamar memang dimatikan. Tapi kini karena mata saya benar-benar tidak bisa melihat lagi.”
“Tapi kemudian saya saya sadar, tidak ada yang sia-sia dari semua ini, Allah ambil penglihatan saya karena Allah ingin menutup satu pintu zina untuk saya.” Subhanallah, itulah dia. Jawaban itu adalah kunci utama bagi reaksi-reaksinya yang menyusul kemudian atas apa yang ia alami. “Saya memang kehilangan satu, tapi saya dapat lebih banyak. Memori saya jadi lebih kuat, pendengaran saya jadi lebih tajam, hati saya jadi lebih peka.”
Sungguh benar, bukan apanya dari ujian yang dialaminya yang menjadi pemikiran tapi bagaimana ia menyikapi ujian itu yang memesona saya. “Optimis”, kata itulah yang saat ini ia patrikan dalam dirinya.
“Jika ALLAH mencintai seorang hamba, Dia mengujinya. Jika ia bersabar, maka ALLAH memilihnya, dan jika ia rela, maka ALLAH mengutamakannya di sisi-Nya.” (Al-Hadits)

Ketabahan seorang Ibu
Oleh Miftahul Jannah
Satu hal yang paling bisa membuat saya menangis hari ini –masa di mana saya sudah beranjak dewasa dan harus berpisah dengan keluarga– adalah saat saya teringat ibu. Ingat akan wajah lembutnya, senyum manisnya, kelembutan tuturnya, dan segenap nasihatnya selalu mampu menjadi penentu setiap keputusan saya. Seolah ada reminder ajaib dari ibu. Sehingga setiap saya ingin berbuat sesuatu, selalu ibu yang terbayang lebih dahulu.
Apakah yang akan saya lakukan disukai ibu atau apakah ini akan membuat ibu senang selalu menjadi pertimbangan bagi saya. Di lain kesempatan, jika saya memperoleh sesuatu yang menyenangkan, maka saya akan berkata “Ini saya persembahkan untuk ibu”. Saya meyakini perasaan ini tidak hanya saya yang merasakannya.
Setiap anak tentu tidak akan memungkiri betapa peran ibu mempunyai porsi terbesar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Bagaimana tidak? Ruh seorang anak dititipkan Allah melalui rahim ibu. Sembilan bulan sepuluh hari ia berbagi makanan, cairan, dan suplemen tubuh lainnya dengan ibu. Bahkan setiap apa yang dikonsumsi ibu saat hamil bisa dipastikan adalah untuk janin di rahimnya. Pada masa itu banyak penderitaan yang dialami ibu. Sulit makan di awal-awal kehamilan, membenci sesuatu yang paling disukai saat tidak hamil, sulit bergerak, belum lagi maturational crisis (krisis pada masa hamil ) yang harus dialami.
Saat melahirkan sang bayi, ibu bahkan harus mempertaruhkan nyawanya. Tidak sedikit ibu yang meninggal saat melahirkan. Kemudian dimulailah masa-masa radikal dalam kehidupan anak. Saat anak hanya mampu berkomunikasi dengan tangisan, ocehan-ocehan yang mungkin hanya ibu yang memahaminya, gerakan tangan, tendangan kaki, dan genggaman jari. Begitu lambatnya pertumbuhan kita namun begitu sabarnya ibu mengurus kita. Makan melalui mulut, berbicara, berjalan, semuanya harus dipelajari. Bukankah ibu yang mempunyai peran terbesar dalam tahapan itu?
Kita tumbuh menjadi anak-anak yang lincah dan cenderung nakal. Aktif dan selalu ingin bermain. Ibu dengan sabarnya menemani kita kendati harus letih mengejar kita, melompat, dan memanjat bersama kita. Ia dampingi tahapan-tahapan penting dalam pertumbuhan kita dengan senyum dan harapan indah akan masa depan cerah kita. Ibu tanamkan aqidah dan akhlaq. Apa yang saat dewasa kita anggap benar, laik dan sesuai norma, bukankan kebanyakan merupakan apa yang ibu tanamkan ketika kecil?
Ketika kita sakit, ibu adalah orang yang paling panik. Ketika kita nakal, ibu adalah orang yang paling sedih. Ketika kita berhasil, ibu adalah orang yang paling bahagia. Yakinilah itu !
Saat kita beranjak remaja, masa yang penuh dengan kelabilan dan gejolak itu menjadi aman dengan ibu di sisi kita. Ibu mampu menjadi teman cerita yang begitu setia. Ibu bisa menjadi solusi dari persolan rumit akibat keegoan dunia remaja kita.
Seorang ibu tidak akan pernah menuntut balas semua pemberiannya kepada anak-anaknya. Hanya saja, apakah kemudian anak-anak juga tidak menyadari peranan ibu tersebut ?
Setelah dewasa anak-anak mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan karir dan mengukir kesuksesan. Sementara itu, ada ibu yang beranjak tua dan mulai lemah.
Wahai kita, para anak. Laikkah jika kemudian ibu kita tempatkan di panti wreda ? Menghabiskan sisa-sisa kehidupannya dan menanti mautnya dalam kesendirian ? Membiarkan mimpi-mimpi untuk melihat anaknya berhasil, menyaksikan dan membersamainya, pupus dan harus terkikis habis di panti jompo lantaran anak-anak sibuk dan tidak sempat mengurusnya. Setelah begitu panjang dan beratnya perjuangan ibu mengurus kita saat kecil dulu ? Padahal, diriwayatkan seorang laki-laki datang kepada Nabi saw seraya bertanya tentang orang yang paling laik ditemani. Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” tanya lelaki itu. “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab, “Kemudian ayahmu.”
Sungguh... Ibu pun butuh cinta dari kita, anak-anaknya. Wallahua’lam.
Untuk para nenek di panti Wreda Pakem, semoga senantiasa dalam perlindungan ALLAH.

Kasih sayang Ibu
Oleh Miftahul Khair
Siang itu, aku berada dalam bis ekonomi jurusan Bekasi-Bogor yang sesak oleh penumpang. Bau keringat menusuk hidung, bercampur cuaca panas dan kepulan asap rokok disana-sini. Meski aku berdiri dekat ventilasi udara, tetap saja tak bisa mengurangi rasa gerah. Panas sekali.
Namun di ujung sana, di atas kap mesin bis yang kutumpangi, seorang ibu menarik perhatianku. Sepertinya ia tidak memedulikan panas ruangan di sekitarnya. Dengan tenang digendongnya sang anak yang masih balita. Sambil menyusui anaknya lewat botol susu, sesekali ia mengajak sang anak bergurau dan bercanda. Walaupun mungkin anak seusianya belum mampu merespon senda-gurau itu.
Melihat pemandangan itu, sejenak pikiran ini menerawang jauh, Subhanallah, begitu dahsyatnya kasih sayang orang tua kepada anaknya. Terutama kasih sayang seorang ibu.
                                                                      ***
Setiap kita tak akan bisa menghitung, berapa banyak kesusahan yang telah kita timpakan kepada orang tua dari mulai kita berada dalam kandungan sampai saat ini. Sembilan bulan kita berada dalam rahim ibu, dibawa, dirawatnya janin kita yang tak berdaya itu dimanapun ia berada. Tak ada kata istirahat buat Ibu. Saat tidurnyapun kita ini masih begitu menyusahkan. Jangankan tengkurap, tidur telentang saja dirasakan ibu begitu berat.Ketika detik-detik kelahiran kian dekat, perjuangan Ibupun semakin berat, dihadapkan pada dua pilihan antara hidup atau mati. Bersimbah peluh, berlumur darah untuk melahirkan anak kesayangan yang telah lama dinanti-nantikan.
Setelah kita lahir, kesusahan yang kita timpakan kepada duanya semakin bertambah pula. Kita minum air susunya kapanpun kita mau. Ditengah kerewelan kita, segala macam kebutuhan dan keinginan kita dengan sabar dilayaninya. Waktu istirahat Ibupun sering kita "rampas." Siang hari kita enak tidur, namun malam hari, saat Ibu atau Bapak membutuhkan istirahat, tangisan kita malah santer membuat mereka terjaga dan sulit terlelap kembali.
Lalu apakah kesusahan yang kita timpakan kepada ibu selesai sampai di situ? Tentu tidak. Justru semakin bertambah usia kita semakin bertambah pula kesulitan yang ditanggungkan Ibu. Saat sekolah, misalnya, tak jarang kita yang menjalani ujian, namun justru ibu kita yang lebih banyak berdoa dan lebih khawatir. Takut tidak bisa-lah, takut tidak lulus-lah, dan kecemasan lain, yang kita sendiri kurang peduli.
Setelah kita bekerja atau berkeluarga, berkurangkah kasih sayang mereka? Tidak sama sekali. Biarpun diri kita telah dianggap mandiri, tetap saja Ibu mengkhawatirkan keadaan kita. Seperti saat kita sakit misalnya.
Setelah kita berkeluarga, kasih sayang Ibu tetap tak berujung. Walaupun secara kasat tampaknya lebih banyak dicurahkan kepada sang cucu, Toh, tetap saja itu termasuk salah satu wujud kasih sayangnya kepada kita.
Maka, jika keduanya masih ada, bersikap santunlah kepada ibu dan bapak. Berbuatlah yang terbaik bagi mereka. Simak Firman Allah SWT dalam Al Qur'an surat Al 'Isra, ayat 23 : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan "ah", dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
Andaikan orang tua kita telah dipanggil Allah SWT, doakanlah mereka. Karena beliau begitu merindukan doa-doa kita. Semoga saja kita tergolong sebagi anak-anak yang shaleh.Aamiin.

LihatTutupKomentar